AGAMA UNDERGROUND: WHO HAS KILLED MY HARDCORE?
Krisis Identitas dan Pertanyaan DIY untuk Kita Semua
Bandung, 30/12/2008
“Bad Gogon” (Bad Gosip Underground)
Ada sebuah gosip buruk yang pernah dialamatkan kepada kawan saya yang bernama Yas. Konon katanya Yas pernah menjelek-jelekkan genre Hardcore di depan ratusan para penontonnya. Entah apakah Yas memang saat itu memang benar berkata seperti itu atau memang ada penonton yang salah menangkap konteks pembicaraannya, yang pasti gosip ini sempat menyebar ke banyak kalangan musisi underground Bandung. Sempat ada sedikit ketegangan diantara mereka berkenaan dengan gosip ini.
Ketegangan ini terjadi antara sebagian kecil barudak yang mengaku dirinya penganut Hardcore dengan barudak yang mengaku dirinya penganut Emo. Yas pun yang dicap sebagai biang masalah sering mendapat teguran bahkan cacian dari banyak orang. Bukan hanya Yas, sebagian besar personil dan kru Alone at Last juga tidak luput dari serangan pertanyaan dari banyak orang mengenai masalah yang sama. Mendengar ini saya dan kawan-kawan lain hanya kaget dan kebingungan. Setelah ditelaah-telaah ternyata ditemukan bahwa gosip itu sama sekali tidak benar. Yas sama sekali tidak menjelek-jelekkan Hardcore di depan para penonton. Ternyata setelah diteliti, gosip buruk itu datang dari salah seorang anak muda yang masih duduk di bangku SMA yang salah menangkap konteks pembicaraan Yas – Pendengaran dan pikirannya yang kasar menyimpulkan bahwa Yas dan Alone at Last adalah orang-orang yang anti-Hardcore. This is so funny... bagaimana mungkin kita membenci Hardcore sedangkan sebagian influence musik kita berasal dari Hardcore juga?
Tapi syukurnya masalah ini segera berakhir. Toh semua orang tahu bahwa pada akhirnya berita miring akan selalu berakhir miring. Mungkin bagi orang tersebut gosip seperti ini sangat menjual nilai konflik yang bisa menjatuhkan nama Yas dan Alone at Last. Bukan hanya itu saja, jika ditanggapi secara SERIUS oleh banyak orang, akan memperburuk nama underground keseluruhan karena melibatkan banyak pihak dari komunitas sosial di bandung yang berbeda-beda.
Terlepas dari itu semua, ada hal yang menarik yang ingin saya bahas dari masalah ini. Terutama yang berkaitan dengan bagaimana orang-orang sekarang sudah mulai banyak yang menyalah-artikan lagi ideologi musik underground seperti yang pernah terjadi pada tahun 1990-an di Bandung dan beberapa daerah di Jawa Barat.Pertama sub-kultur underground/punk kini sudah beralih menjadi sesuatu yang dilawan sebelumnya,yaitu menjadi sangat komersil, kapitalistik, dan pada sebagian komunitasnya, cenderung fasis. Poin terakhir ini berkaitan dengan apa yang ingin saya bahas selanjutnya pada bahasan kedua, yakni bagaimana musik underground sudah dipandang seperti sebuah ‘agama’dibandingkan sebagai sebuah jalur musik non-mainstream dan sebuah social movement (pergerakan sosial).
Underground dan DIY
Orang-orang yang ‘baru’ hidup dan mengenal dunia underground, yang masih hijau dan meraba-raba, yang masih lugu dan sok tahu, cenderung membanggakan secara berlebihan jenis musik dan lifestyle yang dia hidup di dalamnya. Mereka yang mengaku dirinyapunkers, berpakaian layaknya ‘anak punk’; Rambut mohawk, tindik telinga, hidung, tatoo, sepatu boot Dr.Martin, jaket dan celana jeans. Mereka yang mengaku dirinya hardcore berpakaian lebihsporty, celana army selutut, syal di kepala menutupi alis mata, dan asesoris lainnya. Begitupun mereka yang mengaku dirinya budak Skinhead, Metal, Grindcore, Hip-Hop, dan Ska. Banyak diantara mereka yang terlalu mengutamakan penampilan fisik dibandingkan mengedepankan attitude D.I.Y sesungguhnya.
“D.I.Y” yang merupakan singkatan dari “Do-It-Yourself” merupakan ‘etos-punk’ (punk ethic) yang mengedepankan ‘kemandirian’ dan ‘ketidak-ketergantungan’ pada sesuatu yang di luar dirinya. Etos punk DIY ini merupakan ideologi underground yang seharusnya melawan nilai dan budaya konsumerisme. Melawan kebiasaan belanja dan meminta uang pada orang lain, baik pada teman, pacar, orang tua, kakak-adik demi untuk kepentingan dirinya sendiri.
DIY-ers cenderung melakukan segala sesuatu oleh dirinya sendiri (mandiri/independent). Dia tidak tergantung pada orang lain dan cenderung mengesampingkan kebiasaan ‘membeli’ dan mengutamakan ‘memperbaiki’ apa yang dia sudah punya sebelumnya Jika sepatunya rusak, dia tidak membelinya langsung, tapi berusaha untuk memperbaikinya oleh tangannya sendiri. Begitupun ketika sepedanya rusak, dia tidak membawanya langsung ke bengkel, tapi berusaha untuk belajar memperbaikinya sendiri. Attitude seperti ini pada akhirnya memaksimalkan potensi diri sendiri dan meminimalisir ketergantungan pada dan kebiasaan merepotkan orang lain. In a way, menjadi MANDIRI, PRODUKTIF dan PROGRESIF!
Walaupun sebenarnya tidak mungkin kita sebagai makhluk sosial bisa mandiri secara penuh - Manusia selalu ‘membutuhkan’ dan ‘dibutuhkan’. Kita selalu membutuhkan sesuatu, tapi kita terkadang ingin ‘dibutuhkan’ juga oleh orang lain. Bayangkan jika kita semua berjalan sendiri-sendiri dan tidak membutuhkan satu sama lain. Bukankah kita akan menjadi orang yang individualis dan ‘AUTIS’?
Sekarang sangat sedikit komunitas underground di Bandung yang memegang prinsip DIY. Lifestyle underground kini berubah menjadi komoditas yang mudah diperjual belikan. Tren style fashion punk, emo, metal, hardcore menjadi jalur pintas penjualan produk yang berasal dari industri besi, metal, fyber, kain, wax, dsb. Tren ini juga memperkaya perusahaan multinasional Amerika dan Eropa yang bergerak di bidang akses pembayaran, seperti Visa, Cirrus, dan American-Express. Banyak anak muda yang mulai meminati musik underground beramai-ramai dan berbondong-bondong membeli sepatu vans, macbeth, dan clothing yang bergengsi – yang mirip dengan yang pernah dipakai pemain band favorit mereka.
Semangat kemandirian DIY kini berubah menjadi semangat ‘ingin membeli dan menikmati dengan cepat’ – konsumeristik. Semangat ini yang kemudian merubah jati diri masyarakat menjadi lebih destruktif, eksploitatif, dan manipulatif.
Tidak sedikit teman-teman di sekitar pergaulan kita yang berani tanpa beban dan malu meminta uang pada orang tuanya yang kurang mampu untuk membeli sepatu Vans dan Macbeth yang dia inginkan. Ada juga diantara mereka yang meminjam uang pada temannya tapi selalu lupa untuk membayar utangnya kembali demi membeli t-shirt dan sweater idamannya. Lebih parahnya lagi, ia mencuri uang kas band atau organisasinya demi ongkos pacaran dan belanja dia pribadi. This is the the real fact that exist amongst us!!
AGAMA UNDERGROUND?
Kemudian kita memasuki penyimpangan Underground kedua. Yaitu bagaimana sebagian dari kita menganggap aliran musik yang kita bawakan seolah-olah seperti agama. Sehingga ketika ada yang mengkritik atau mencaci musik yang kita bawakan, kita cenderung marah dan mempersoalkannya menjadi lebih dramatis danrararungsing. Dia langsung bertindak seolah-olah seperti ‘polisi Underground’ yang harus merepresi suara-suara kritis para musisi. Sejak kapan Underground punya polisi atau aparat? Ada gituh polisi punk atau hardcore? Kamra Metal? Brimob Hardcore? Dan jika kita tidak merasa sebagai aparat underground lantas kenapa kita bertingkah seperti seorang aparat?
Barangkali semua berawal dari kebanggaan terhadap apa yang kita temukan dan ciptakan dari karya musik yang kita buat. Kebanggaan yang berlebihan dengan apa yang kita punya akan membutakan kita dari kenyataan bahwa kita juga masih harus banyak belajar dari yang lain. Pengetahuan dan pengalaman kita tidak pernah cukup untuk membangun komunitas Underground yang lebih maju. Untuk itu kita mesti banyak berbicara, bergaul, dan mendengarkan mereka yang lebih berpengalaman. Banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang tidak dilihat dari jumlah umur, tapi sejauh mana dia berkecimpung di lingkungan pergerakannya.
Kalimat-kalimat “Aing Hardcore!”, “Aing Emo!”, “Aing Skinhead!”, Aing “Straight Edge !” bisa diartikan dua makna oleh kita. Yang pertama ia bisa dijadikan sebuah komedi atau candaan yang tidak perlu dibawa serius (yang selalu dibercandakan oleh teman-teman saya di komunitas underground Bandung). Dan yang kedua, ia bisa dilihat sebagai proses pembelajaran diri. Dimana orang yang mengatakan itu sedang belajar bagaimana mencintai identitas baru yang menurutnya “cool” atau “keren” untuk diadopsi. Meskipun orang itu belum mengerti sejarah dan rootsunderground, setidaknya dia sedang belajar untuk mencintai sesuatu yang berbeda dari mainstream budaya yang umumnya dianut oleh masyarakat Indonesia yang cinta POP! Selanjutnya setelah melalu beberapa fase kehidupan, dia akan menyadari bahwa ide radikal dia yang dulu itu hanya merupakan trigger untuk menjadi siapa dirinya sekarang.
Dalam proses pembelajaran ini, orang melalui jalur pembelajaran yang berbeda-beda. Semua tergantung dari latar belakang pendidikan dan karakter pribadinya sendiri. Ada yang jatuh pada identitas POSER, dimana ia hanya berpakaian seperti anak punk/hardcore tapi tidak mengetahui punk ethicnya, ada yang jatuh pada identitas SOSIAL, dimana ia demen bergaul dengan orang yang baru dan berbeda-beda, ada yang jatuh pada identitas PENGUSAHA, dimana ia senang menyediakan produk-produk yang bisa dijual untuk mendukung lifestyle undergroundnya, dan ada juga yang jatuh pada identitas KEAGAMAANNYA, dimana ia menggunakan musik seperti agama; yang ia gunakan sebagai kambing hitam daripada sebagaisemangat jiwa pembebas jiwanya.
Nah, di poin terakhir inilah yang sering saya khawatirkan. Musik Underground yang setelah puluhan tahun sejarahnya berfungsi sebagai penghapus kelas dan pemersatu kelas –kelas sosial dijadikan alat oleh masing-masing penggemar demi mengejar kepentingannya identitasnya sendiri.
Mereka yang bertingkah seperti ‘Polisi Hardcore’ terdapat banyak di sekitar kita. Peran yang mereka dapatkan sebetulnya bersifat granted oleh kawan-kawan sosialnya yang mengenalnya sudah lama. Ditambah dengan karakter pribadi yang ‘sangar’ dan ‘dingin’ kadang-kadang memberikan efek dramatis agar orang-orang di sekitar dia mau tunduk dan menerima semua yang dia bicarakan atau dia inginkan. Ya, seperti preman memang – Tapi Punker/DIY-ers tidak sama dengan Preman. Punker/DIY-ers adalah orang-orang mandiri yang mencintai kebebasan, perdamaian, anti kelas dan anti-otoritas. Punker/DIY-ers adalah orang-orang yang setara meskipun tidak sama satu sama lain. Tidak ada yang lebih tinggi status sosialnya dengan yang lain. Di sini, kualitas orang hanya dilihat dari apa yang dia mampu berikan untuk dirinya sendiri, keluarganya, dan untuk teman-temannya.
Selain mirip dengan preman, ‘Polisi Hardcore’ juga bertingkah seperti ‘Polisi Agama’ di Arab Saudi. Dimana mereka diberi jabatan khusus untuk menjaga moral dan keyakinan yang sesuai dengan kitab Suci yang dianut. Dalam Underground, tidak ada paksaaan keyakinan. Masing-masing pribadi berhak untuk meyakini apa yang dia ingin yakini. Bahkan untuk menafsirkan etos-punk, semua punya hak yang sama. Yang menjadi masalah ialah, jika ia mengatasnamakan dirinya Punk, Hardcore, Metal, atau Underground secara keseluruhan, dengan penafsiran etos-punk yang tidak akurat ‘menyalah-nyalahkan’ keyakinan orang lain dan menganggap dirinya lah yang paling benar. Orang seperti ini disebut sebagaiFASIS. Serupa dengan keyakinan ortodoks Neo-Nazi pengagum Adolf Hitler dan Mussolini yang membenci orang-orang kulit hitam, Yahudi, dan non-kulit putih secara keseluruhan.
Tapi Underground di Bandung tidak mengenal hierarki di atas pribadi seseorang. Tidak ada yang namanya ‘Polisi Hardcore’ atau ‘Polisi Underground’. Jika kita membenci para aparat yang ‘memakruhkan’ bahkan ‘mengharamkan’ musik underground, lantas kenapa kita harus berlaku seperti mereka? (Paps)
Article is also available at http://www.myspace.com/everlastingalone dan http://aloneatlast.multiply.com – PLEASE SUPPORT OUR MOVEM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar